Investasi sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah daerah. Itu mungkin sebabnya, pemerintah Aceh "melanglang buana" ke berbagai negara untuk mencari investor. Serambi merekam sebagian usaha tersebut, termasuk realisasi investasi, dalam laporan eksklusif berikut ini.
PADA suatu malam di pengujung April 2010, sejumlah pria berpakaian resmi dengan stelan jas lengkap, memenuhi ruang pertemuan sebuah hotel berbintang di pusat kota Seoul, ibu kota Korea Selatan (Korsel). Konon, mereka yang hadir di ruangan seluas 900 meter persegi hotel bintang lima yang terletak di tengah kota Seoul itu adalah pebisnis-pebisnis ulung Korsel. Mereka dari perusahaan terkemuka dunia di Korsel, mulai dari petinggi perusahaan Samsung, Hyundai, hingga bos POSCO, produsen baja terbesar keempat di dunia.
Wakil Gubernur (Wagub) Aceh Muhammad Nazar dan rombongan yang saat itu memang sangat berkepentingan dengan "pertemuan bisnis" tersebut, berupaya meyakinkan para taipan Korsel untuk berinvistasi di Aceh. Sesekali tepuk tangan membahana, saat Wagub Muhammad Nazar yang memimpin rombongan Pemerintah Aceh kala itu memuji bangsa Korsel tangguh dan lihai dalam berbisnis. Untuk meyakinkan investor, rombongan Pemerintah Aceh yang dipimpin Wagub Muhammad Nazar ini membawa sekoper dokumen, yang berisi data-data potensi Aceh yang bisa ditawarkan.
Esoknya, beberapa lokasi industri dikunjungi untuk melihat kehebatan dan kemajuan Korsel. Beberapa orang tim teknis dari Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh bahkan melihat langsung belasan ruas jalan tol yang menghubungkan antarpusat kota bisnis di Korsel. Pusat industri perikanan Korea di kawasan Busan, juga dikunjungi. Namun, proyek jalan tol menjadi incaran, tentu dengan berharap kebaikan hati pemodal dari negara gingseng tersebut.
Berbulan-bulan bahkan hingga dua tahun kemudian usai pertemuan itu, Pemerintah Aceh yakin perusahaan Korea bakal membangun jalan tol di Aceh dengan anggaran hingga Rp 26 triliun. Namun, seperti juga hampir semua kunjungan ke luar negeri lainnya, tak ada investor Korea yang berhasil diajak untuk membuat jalan tol di Aceh. Sudah tak terhitung pula berapa kali tim dari Pemerintah Aceh mengadakan kunjungan semacam itu ke luar negeri untuk menjaring investor. Bahkan pada Senin (26/5) lalu, seperti diutarakan Kepala Badan Investasi dan Promosi (Bainprom) Aceh Ir Iskandar MSc, Gubernur Aceh Zaini Abdullah kembali berkunjung ke luar negeri. "Tujuannya, juga untuk mencari investor," ujar Iskandar.
Sulitnya menarik investasi ke Aceh memang mengharuskan Pemerintah Aceh bekerja ekstra. Menurut Iskandar, promosi sangat penting untuk menggaet investor. "Saya kira apa yang kita lakukan tidak sia-sia. Memang dampaknya baru terlihat dua-tiga tahun kemudian," kata Kepala Bainprom Aceh itu saat ditemui Serambi di kantornya, beberapa hari sebelum dia terbang kembali untuk mencari investor ke luar negeri.
Iskandar bahkan dengan bangga menyebutkan bahwa Aceh pada triwulan I 2014 menempati urutan keenam dari seluruh provinsi di Indonesia dalam hal realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), setelah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat. Nilai investasi di Aceh posisi Januari-Maret 2014 itu mencapai Rp 1,581 triliun. "Iya, tidak mungkin kami menyampaikan data yang tak akurat. Sumbernya juga dari BKPMD," kata Iskandar yang didampingi beberapa stafnya. Benarkah demikian dan dari mana pula angka-angka itu diperoleh?
Serambi berusaha mendapatkan data-data perusahaan yang berinvestasi dari Bainprom Aceh. Berdasarkan data Bainprom, ada 29 perusahaan dalam negeri yang menambah investasinya di semester I 2014. Ke-29 perusahaan dalam negeri ini berkontribusi sampai Rp 1,536 triliun, sedangkan kontribusi dari PMA (sebanyak 22 perusahaan), hanya 45,338 miliar, sehingga totalnya menjadi Rp 1,581 triliun.
Nah, di antara 29 perusahaan dalam negeri yang berinvestasi di Aceh, ada satu perusahaan yang disebutkan berinvestasi dengan nilai 982 miliar. Berdasarkan data Bainprom, perusahaan tersebut adalah PLN (persero) Unit Pembangkit Sumatera I dengan lokasi investasi di Aceh Tengah. Bidang usahanya disebutkan, "pembangkit listrik." Serambi pun menelusuri, benarkah perusahaan ini mengeluarkan investasi tambahan hingga Rp 982 miliar selama bulan Januari, Februari, hingga Maret 2014?
Dari Aceh Tengah, Serambi mendapatkan informasi yang menarik ditelusuri lebih jauh. Manager UPK PLTA Peusangan Oktavianus Duha, salah seorang pelaksana proyek itu, memastikan bahwa tambahan investasi pihaknya di semester pertama tahun 2014 cuma Rp 80 miliar, bukan 982 miliar seperti data yang didapatkan dari Bainprom Aceh. "Secara akumulasi dana investasi yang sudah kita keluarkan mulai Mei 2011-Maret 2014 sebesar Rp 1,1 triliun," kata Oktavianus dalam pesan singkatnya kepada Serambi. Namun, dia menegaskan bahwa di semester I 2014 cuma 80 miliar investasi tambahan, bukan 982 miliaran rupiah.
Nah, jika BUMN itu mengeluarkan investasi tambahan di Semester I 2014 hanya Rp 80 miliar, maka total realisasi investasi pada semester ini sekitar Rp 700 miliar. Jika hitung-hitungan ini betul, maka Aceh juga belum pantas disebut sebagai provinsi yang realisasi PMDN berada di urutan 6 secara Nasional pada Semester I 2014 ini, sebagaimana disampaikan Kepala Bainprom Iskandar.
Namun, saat dikonfirmasi ulang, seorang staf Bainprom menyebutkan bahwa perusahaan itu baru saja melapor, makanya yang dihitung adalah jumlah investasi mereka semuanya. "Memang konsep penghitungan secara nasional juga begitu," pria yang enggan disebutkan namanya ini. Akan tetapi, jika pun menggunakan total investasi perusahaan negara itu di Aceh Tengah sejak 2011 lalu, maka nilainya Rp 1,1 triliun, bukan 982 miliaran rupiah.(*)