OLEH ISMU RIDHA NURDIN, alumnus UIN Ar-Raniry, Penerima Beasiswa Master dari LPSDMA 2013 Jurusan Tafsir University of Malaya, melaporkan dari Kuala Lumpur
PAGI Kamis lalu cuaca terasa dingin dan segar. Saya bersama sang istri mulai bersiap-siap menuju kampus. Tak seperti biasanya, kali ini kami menggunakan motosikal (sepeda motor) yang dipinjamkan kawan. Karena ini merupakan pengalaman pertama berkendaraan bersama wanita di negeri orang, ia pun langsung duduk menyamping sebagaimana kebiasaan dalam adat keacehan kita.
Motor kami mulai bergerak perlahan hingga ke pintu gerbang perumahan, tanpa perasaan apa pun saya tetap santai menunggu penjaga membuka palang pintu gerbang. Namun tiba-tiba, seorang polisi yang sedang tugas bersama security menahan kami. Kelengkapan dokumen pun mulai diperiksa dan alhamdulillah saya bebas dari hal ini, akan tetapi kami menyalahi aturan berboncengan di negeri ini.
Saya baru sadar, rupanya saya bukan sedang di Indonesia, saya juga bukan sedang di Aceh. Hehehe... Ini adalah negeri orang yang memiliki qanun dan aturan sendiri. Meskipun memiliki adat, bahasa, dan budaya yang dominan sama, namun ada saja hal-hal yang kontras antara kita dengan mereka (baca: Malaysia), di satu sisi tentu saja hal tersebut dapat menjadi pembeda dan penentu identitas masing-masing.
Bagi mereka, siapa pun yang menggunakan motosikal haruslah "ngangkang". Alasan utamanya adalah keselamatan. Sebaliknya, duduk menyamping justru memperbesar peluang terjadinya kecelakaan. Oleh sebab itu para pelanggar akan dikenakan "saman" atau denda sebagaimana undang-undang yang telah ditetapkan.
Wallahu a'lam, apakah "ijtihad" ini lahir dari sebuah kajian yang serius serta berkaca dari pengalaman panjang mereka atau hanya latah karena meniru aturan negeri lain?
Namun yang pasti, kini Malaysia telah mewajibkan "kangkang style" bagi warganya dan bagi siapa pun yang hadir di negeri Malaya ini.