BANDA ACEH - Pemerintah Aceh saat ini belum terlibat aktif dalam skema perdagangan karbon (carbon trade) secara lintas negara. Kalaupun ada, baru sebatas kerja sama yang tidak mengikat. Seperti halnya kerja sama Pemerintah Aceh dengan Jerman dalam Program Kfw terkait dengan pengembangan ekosistem Leuser, Singkil, dan Kota Subulussalam.
"Khusus untuk perdagangan karbon, itu masih dalam wacana, jadi belum ada yang dijual. Baru sebatas membahas misalkan nanti ada karbonnya, lalu bagaimana makanisme menjualnya dan seperti apa penggunaannya? ujar Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Aceh, Ir Husaini Syamaun MM, menanggapi liputan eksklusif Serambi Indonesia berjudul "Aceh Mimpi Uang Karbon" yang dipublikasi, Jumat (30/1).
Ditanya tentang apa yang diinginkan Dishut Aceh dari program perdagangan karbon (oksigen murni dari hutan yang masih perawan) itu, Husaini menjawab dengan mantap. "Kita menginginkan, masyarakat di sekitar hutanlah sebagai pihak yang lebih besar merasakan dampak dari penjualan karbon dari hutan Aceh, bukan pihak yang lain."
Husaini mengakui bahwa Aceh memiliki kandungan karbon yang besar. Namun, butuh satu mekanisme tertentu untuk mengukurnya. "Saya rasa ada miliaran. Jumlahnya pasti berubah-ubah terus. Tapi kandungan karbon hutan Aceh dengan keanekaragaman hayatinya, tergolong besar, termasuk di Rawa Tripa dan hutan mangrove, meskipun sekarang ada bagiannya yang terjadi kerusakan," ujarnya.
Husaini menambahkan, selama ini ada beberapa negara donor yang menunjukkan kepeduliaannya kepada Aceh dalam hal pelestarian hutan. Namun, banyak di antaranya yang hanya berorientasi untuk membiayai kegiatan dan honorarium tim asistensi. Jadi, bukan langsung mengarah pada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. "Kita tidak ingin begitu. Kita ingin bantuan itu bisa langsung dirasakan masyarakat," kata Husaini.
Di mata Husaini, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lebih berhak menerima kompensasi dalam skema perdagangan karbon hutan Aceh dibanding pihak lainnya. "Jikapun ada, maka masyarakat lebih berhak untuk menerimanya karena mereka adalah pihak yang langsung terkait dengan menjaga dan melestarikan hutan," imbuhnya.
Ia mengingatkan bahwa terkait isu perdagangan karbon, Pemerintah Aceh sudah sejak tahun 2010 terlibat aktif dalam Forum Governors' Climate and Forrest (GCF) yang dilaksanakan di Banda Aceh.
Tapi di sisi lain, sejauh ini belum ada satu tindakan konkret pun yang diambil pemerintah pusat, dalam hal ini Badan Pelaksana (BP) REDD+ setelah menandatangani MoU dengan Pemerintah Aceh dalam program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut apda November 2014 lalu.
Husaini juga mengaku belum tahu lebih detail tentang kinerja Tim Task Force REDD+ Aceh yang dibentuk Gubernur Zaini Abdullah karena berada di bawah kewenangan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Aceh. "Saya kira, saat ini tim juga tengah berusaha untuk mempersiapkan rencana ke depan," ujarnya. (sar)
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |