FAUZI SALEH, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, peserta Postdoctoral Fellowship Program for Islamic Higher Education (Posfi), melaporkan dari Tunisia
HANGAT dan mengesankan sekali sambutan Dekan Fakultas Adab wa Ulum al-Insaniyyah, Jelil Universitas Sousse, Tunisia, Prof Moncef Ben Abdel Jalel ketika bertemu kami, delapan peserta Postdoctoral Fellowship Program For Islamic Higher Education (Posfi) dari Indoenesia.
Ia mengaku sangat mengagumi kerukunan dalam keberagaman Indonesia. Lebih dua jam, sang Dekan beramah tamah dengan kami tentang pentingnya memperkenalkan Indonesia kepada dosen, mahasiswa, dan akademisi Universitas Sousse. Indonesia baginya menjadi contoh terbaik bagi dunia, khususnya bagi negara-negara Arab yang kini berada dalam kecamuk perang yang bagai tak kunjung padam. Ia contohkan chaos di Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman dikhawatirkan menjadi konflik yang berkepanjangan.
Untuk itulah, Prof Moncef sangat welcome dengan program Posfi mengajarkan bahasa dan peradaban Indonesia di Tunisia. Keingintahuan masyarakat Tunis, khususnya para akademisi, merupakan momentum bagi mereka untuk berubah menjadi komunitas yang ramah, toleransi, inklusif, dan rukun.
Moncef, demikian sapaan sang Dekan, sangat fasih menyebut jumlah pulau, penduduk, bahkan agama di Indonesia. Baginya, Tunis yang luasnya hanya 163 ribu km2 dan berpenduduk 10 juta jiwa lebih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Indonesia dengan luas pulaunya mendekati 2 juta km2 dan berpenduduk 237 juta jiwa. Artinya, secara geografis dan demografis seharusnya Tunis mesti lebih tertib, rukun, dan damai dibandingkan Indonesia.
Hasrat curiosity terhadap negara-negara Asia, khususnya, akan diwujudkan dalam sebuah pusat kajian apa yang dengan Asia Corner. Program ini sangat tepat pada Fakultas Adab dan Humaniora di Sousse ini yang berdiri sejak 26 November 1990, mengingat jumlah peminat yang studi di sini tergolong fantastis. Mahasiswa aktif, menurut keterangan yang saya peroleh, mencapai 6.000 orang dan 1/6-nya mengambil program studi bahasa Arab.
Kami memperkenalkan Indonesia di Universitas Sousse ini dibangkai dalam dua kegiatan: mengajarkan bahasa dan seminar peradaban Indonesia. Seminar itu dilaksanakan delapan kali yang temanya dibingkai dan dipersiapkan pihak fakultas, yaitu: Sejarah Indonesia Dulu, Awal Islam di Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Kebhineekaan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia, Seni dan Artistik Islam Indonesia, Perekonomian Modern di Indonesia, Pengaruh Undang-Undang Indonesia dalam Pengaturan Kehidupan Politik dan Sosial, serta Arah Pemikiran Modern di Indonesia.
Dari rumpun pemikiran ini bisa ditebak bahwa Tunis kelihatannya sedang mencari format terbaik dalam membina kerukunan masyarakatnya yang heterogen. Tunisia, dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya, memang lumanyan stabil, baik ekonomi maupun politiknya. Negara yang bermotokan hurriyyah (kebebasan), nizam (kedisiplinan), dan 'adalah (keadilan) ini secara geografis terletak di pesisir Laut Tengah. Tunisia berbatasan dengan Aljazair di sebelah barat dan dengan Libya di selatan dan timur.
Luas daerahnya 163.610 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 10.777.500 jiwa. Negara ini termasuk kawasan subur, kecualil 40% wilayah yang berupa padang pasir sahara. Dilihat dari segi bahasanya, orang Tunisia berbicara bahasa Arab campur dengan bahasa Prancis. 'Campuran' ini dapat dimaklumi karena mereka dijajah Prancis dalam tempo lumayan lama, 1881-1956.
Dari sisi peradaban dan keilmuan, Tunis juga dikenal sebagai salah satu tujuan studi masyarakat dunia. Bukan tidak berasalan, negara ini telah melahirkan tokoh besar seperti Bapak Sosiologi Islam, Ibnu Khaldun. Penulis buku melegenda, al-Muqaddimah, ini kemudian diabadikannya dalam bentuk sebuah patung di pusat Kota Tunis. Sederetan nama ilmuwan kontemporer juga mengharumkan Tunisia seperti Ahmad Raisuni, Mufsir Ali al-Qahthani, dan al-Basyir Syammar.
Dari sosial politik, Tunis sedang menghadapi persoalan yang belum terselesaikan setelah lengsernya Ben Ali pada 14 Januari 2011 karena ketidakmampuannya mengatur harga pangan, kenaikan bahan bakar, maraknya korupsi, dan seterusnya. Pada Oktober 2011, dilaksanakan pemilu perdana pascaturunnya Ben Ali untuk membentuk pemerintah sementara. Partai Ennahda memenangkan 90 dari 217 kursi di parlemen dan kemudian membentuk koalisi dengan partai-partai sekuler dalam menjalankan pemerintahannya. Meski demikian, sebagian masyarakat merasa belum begitu puas dengan usaha pemerintah selama ini. Karenanya, Pemilu 26 Oktober 2014 lalu menjadi momen penting bagi rakyat Tunisia untuk menentukan nasibnya. Dari perjalanan ini, semoga Indonesia menjadi contoh terbaik bagi Tunisia, juga begara-negara lainnya di dunia. Amin. [email penulis: fauzisaleh09@gmail.com]
Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke redaksi@serambinews.com
Anda sedang membaca artikel tentang
Tunisia Kagumi Kerukunan di Indonesia
Dengan url
http://acehnewinfo.blogspot.com/2014/11/tunisia-kagumi-kerukunan-di-indonesia.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Tunisia Kagumi Kerukunan di Indonesia
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Tunisia Kagumi Kerukunan di Indonesia
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar