"Jakarta keras, Jakarta kota yang tidak bersahabat bagi pendatang. Namun, November 1999 saya memutuskan berangkat ke Jakarta. Saya bawa sebuah rapa-i, berharap di ibu kota saya bisa mengembangkan bakat yang saya miliki sambil saya mencari kerja," cetus Dek Gam (37), seniman Aceh di Jakarta, saat dijumpai Serambi di anjungan Pemerintah Aceh di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (3/12) malam.
Malam itu, rinai hujan membasahi kota Batavia dengan macet merayap padat di semua ruas jalan. Saya berusaha mendatangi anjungan Pemerintah Aceh di TMII, tempat berkumpulnya seniman Aceh di Jakarta, untuk bertatap muka dengan Dek Gam yang kini sukses menaklukkan ibu kota dengan keahliannya.
Sesaat sampai di anjungan Pemerintah Aceh, Dek Gam menyambut dengan ramah. "Alhamdulillah katroh neulangkah kenoe, nyoe di sinoe lagee rumoh droe teuh, sama tanyoe di sinoe (Alhamdulillah sudah sampai ke sini, ini rumah kita, kita semua sama saja di sini)," ujar Dek Gam.
Dek Gam, bernama lengkap Yusri S, pria kelahiran Banda Aceh, 5 Februari 1977, adalah putra Aceh yang telah berjibaku dengan kerasnya ibu kota, dan kini telah memetik buah keberhasilan yang ia tanam selama bertahun-tahun.
Pada Tahun 1999, bermodalkan sebuah rapa-i --alat musik tradisional Aceh-- Dek Gam pergi menapaki ibu kota dengan harapan yang tidak muluk-muluk. "Saya bawa rapa-i, uang 300 ribu, dan berangkat dengan bus. Perjalanannya tiga hari empat malam. Tujuan saya mencari kerja dan saya ingin mengembangkan kesenian Aceh di sini," ujarnya.
Singkat cerita, sesampai ke Jakarta, ia langsung dikejutkan dengan hiruk pikuk ibu kota yang sama sekali tidak bersahabat. Selama beberapa hari Dek Gam bertualang dengan kerasnya ibu kota. Hingga kemudian berjumpa dengan seorang karibnya, Teuku Karnosi alias Dek Tek yang saat itu bekerja sebagai tenaga kontrak di Kantor Perwakilan Aceh di Jakarta.
Hari-hari ia lalui dengan kecamuk ibu kota yang terus meradang, perlahan Dek Gam berbenah, ia pun mulai banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bekerja sebagai tukang cuci mobil dengan upah Rp 10 ribu.
Hingga suatu hari, Kepala Kantor Perwakilan Aceh di Jakarta saat itu, Ridwan Ahmad, mengetahui keberadaannya. Dek Gam kemudian dipanggil untuk menghadap. "Saya menjumpai beliau, dan beliau bertanya kepada saya, 'Apa tujuan anda ke sini? Di sini jangankan lulusan SMA seperti anda, lulusan sarjana saja tidak punya kerja' itu pertanyaan yang paling saya ingat dari Pak Ridwan," kisah Dek Gam kepada Serambi.
Pun begitu, perjumpaannya dengan Ridwan ternyata menjadi langkah awal menemukan jalan hidupnya di ibu kota. Dek Gam diperbolehkan bekerja di bagian kebersihan di kantor Penghubung Aceh dari Senin hingga Jumat, sedangkan Sabtu dan Minggu ia diberi amanah untuk mengajarkan tarian di anjungan Pemerintah Aceh. Mendengar hal itu, kebahagiaan menyeruak dalam batin pria berkulit sawo matang itu.
Tahun 2000 sebuah parade tari tingkat nasional diadakan di TMMI. Bak gayung bersambut, Dek Gam pun dipercayakan untuk menjadi koreografer untuk mengikuti even tersebut. Ia bersama M Riza (Sanggar Geunaseh) menata sebuah tari kreasi bertajuk "Kipah Sikarang".
Alhasil, dari keikutsertaan itu, Dek Gam bersama sahabatnya berhasil menyabet gelar koreografer terbaik. Sejak itu, keberuntungan mulai menghampirinya. Sanggar Artina di Jakarta kemudian meminta Dek Gam untuk menata tari nusantara di sanggar tersebut. "Di sanggar inilah pertama sekali saya dibayar Rp 50 ribu per dua jam, dan ini gaji tetap pertama saya," sebut Dek Gam.
Seperti durian runtuh, sebuah sekolah di Jakarta, SMA 70 Bulungan, juga meliriknya untuk melatih siswi-siswi di SMA tersebut. Di SMA itu, Dek Gam mengembangkan sebuah tarian, yang kini menjadi tren di kalangan siswi-siswi SMA di Jakarta, yaitu tari ratoeh jaroe. "Alhamduliilah dari situ berdatangan order dari sekolah Labschool, SMA Al Azhar dan lain-lain," sebutnya.
Hingga pada tahun 2002 Dek Gam mempersunting seorang wanita Aceh, bernama Ratna Asih, dan dikaruniai tiga orang anak, Yura, Ica dan Suja.Tari ratoh jaroe yang diajarkannya itu heboh pada 2003, sekolah-sekolah di Jakarta pun menjadikan tari tersebut sebagai ekstrakulikuler sekolah. Di tahun itu pula, teman-teman Dek Gam lainnya juga berdatangan ke Jakarta untuk mengadu nasib layaknya Dek Gam.
Pada tahun 2004, ia diangkat menjadi tenaga honorer pada kantor Penghubung Aceh, dan pada tahun 2010 ia resmi menjadi seorang abdi negara, sebagai PNS di kantor itu. Sekarang, Dek Gam bak primadona di kalangan siswi-siswi SMP dan SMA di Jakarta.
Dalam satu hari, ia mengajar hingga lima sekolah dengan tarif Rp 600 ribu per dua jam di setiap sekolah. "Setiap hari saya mengajar, Alhamdulillah berkat kerja keras itu pun, saya bisa membeli sebuah rumah di sini, dan bisa menafkahi anak istri saya," ujar Dek Gam.
Kini, ia sangat dikenal di Jakarta, ia juga dijuluki "The King of Ratoeh Jaroe". Berbagai prestasi pun sudah ia toreh, dan banyak negara telah ia kujungi untuk mementaskan tari Aceh, semisal Turkey, Jepang, Korea, Italia, Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Belgia dan lain-lainnya.
Dalam waktu dekat ini, ia bersama sejumlah seniman laiinya juga berecana ingin menggelar even akbar, yaitu tari ratoeh jaroe massal, yang melibatkan 5.100 penari dan dipusatkan di TMII. Rencana tersebut sudah diusulkan kepada Kantor Perwakilan Aceh di Jakarta, dan akan dibahas dalam program 2015. (subur dani)
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |
Anda sedang membaca artikel tentang
Dek Gam, Bermodal Rapa-i, Taklukkan Jakarta
Dengan url
http://acehnewinfo.blogspot.com/2014/12/dek-gam-bermodal-rapa-i-taklukkan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Dek Gam, Bermodal Rapa-i, Taklukkan Jakarta
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Dek Gam, Bermodal Rapa-i, Taklukkan Jakarta
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar