Menyebar Pengalaman Damai ke Thailand Selatan

Written By Unknown on Minggu, 05 Oktober 2014 | 16.25

MUSLAHUDDIN DAUD, pegiat pendidikan damai dan resolusi konflik, melaporkan dari Songkla, Selatan Thailand

INI adalah kunjungan kelima saya ke Thailand Selatan sejak 2010. Dalam kunjungan satu minggu ini, tugas utama saya adalah menjadi narasumber dalam Seminar International Men and Male Youth in Conflict Area: Cause, Impact, Coping Local, and International Lesson, held by Center for Conflict Studies and Cultural Diversity (CSCD) Prince of Songkhla University, Pattani, Thailand. Saya diminta mempresentasikan makalah Between the Conflict and the Deep Blue Sea: How Young Acehnese Youth Cope in Time of Crises" (Di antara konflik dan dalamnya lautan biru, bagaimana pemuda Aceh menghadapi masa-masa krisis). Dalam seminar ini saya dipanel dengan Virgilio Guteress dari Timor Timur dan Marry Judd dari Filipina.

Di luar seminar, saya tertarik mengamati dan melaporkan aktivitas lain yang langsung berhubungan dengan pendampingan masyarakat yang dilakukan pegiat LSM lokal dan fasilitator pemberdayaan di empat provinsi yang sedang bergolak, yaitu Pattani, Songkla, Yala, dan Narathiwat. Salah satu program yang sedang dijalankan di sini adalah Community Approach in Conflict Situation (CSCS), kerja sama World Bank, Pemerintah Thailand dan Local Development Institute, (LSM lokal). Program ini dirancang berbentuk Community Driven Development (CDD) dengan konsep swakelola. Masayarkat merencana dan melaksanakan sendiri dana hibah yang dialokasikan ke desa target program. Program ini diharapkan membuka ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk memperkuat keserasian sosial di antara mereka akibat dampat dari konflik yang mulai memuncak sejak 2004.

Sebagaimana sering diberitakan, konflik antarkelompok antipemerintah di empat provinsi itu telah menelan korban jiwa 6.097 orang sejak Januari hingga April 2014, di mana 3.583 orang beragama Islam dan 2.359 beragama Budha. Konflik juga menyebabkan korban luka berat 10.908 orang: 3.475 orang muslim dan 6.462 beragama Budha.

Agenda kedua saya di Negeri Thai ini adalah supervisi program di beberapa kampung yang digolongkan sebagai "wilayah merah". Sepanjang perjalanan kami harus melewati puluhan check point yang dijaga ketat tentara Pemerintah Thailand. Ini mengingatkan saya pada pemandangan masa konflik di Aceh.  

Dua hal menarik yang saya amati dalam perjalanan ini. Pertama, di hampir semua check point dipasang billboard besar dengan foto-foto pemberontak yang menjadi target (buronan). Kedua, ditempelkan sejumlah foto mobil yang telah diselidiki oleh intelijen Thailand merupakan mobil-mobil yang akan digunakan untuk meledakkan bom.

Pola kelompok antipemerintah melakukan aksi selalu berubah dari tahun ke tahun. Sejak tiga tahun lalu, pola yang mereka lakukan adalah mengebom tempat umum atau target-target tertentu. Bom yang popular digunakan adalah bom mobil dan sepeda motor, sehingga tak mengherankan jika sepanjang perjalanan saya lihat banyak mobil diparkir di sebelah kanan jalan dengan tujuan apabila bom meledak dampaknya tak akan mengenai rumah penduduk atau pertokoan.

Motor-motor yang diparkir berjejer di pasar pun harus dibuka tempat duduknya. Tujuannya untuk mengetahui dengan cepat apakah ada bom yang dimasukkan ke dalam tangki bensin. Begitulah gambaran kehidupan di empat provinsi sekarang di mana masyarakat hidup dalam keadaan waswas, terutama laki-laki yang dengan mudah dituduh tentara pemerintah sebagai bagian dari pemberontak. Dampak dari kondisi ini: 85% guru sekolah dasar (Tadika) adalah perempuan. Militer menuduh Tadika merupakan tempat untuk dilakukan penanaman ideologi pemberontakan kepada anak-anak selatan Thailand.

Agenda ketiga saya adalah melatih fasilitator program CACS, di mana peran mereka merupakan kunci keberhasilan program di lapangan. Ini kali ketiga saya melatih mereka untuk membangun kepercayaan diri dan keahlian bagaimana melakukan fasilitasi program di tengah situasi yang sulit. Apalagi target lokasi program diutamakan di kampung-kampung dengan tingkat intensitas konflik tertinggi.

Agenda saya yang terakhir adalah melakukan coaching pembangunan kapasitas kepada enam kelompok masyarakat sipil Thailand. Di antaranya: 1) Bunga Raya Group dengan fokus pendidikan, 2) Youth Group untuk isu kepemudaan di wilayah konflik, 3) Jaringan Wanita Sepadan Selatan, dan 4) konservasi sumber daya alam.

Ternyata, begitu banyak pembelajaran dari Aceh, terutama yang secara langsung saya terlibat, bisa digunakan di wilayah lain yang sedang mengalami situasi sulit. Misalnya, pengalaman ketika jadi fasilitator PPK tahun 1999, merancang dan melatih program Conflict Resolution Training (CRT) kepada 400 fasilitator dan 400 pemimpin desa, serta program pendidikan perdamaian di 100 sekolah di Aceh. Juga pengalaman ketika ikut mendesain dan mengimplementasikan Community Based Reintegration Assistance sebuah program kolaborasi antara Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di 1.724 desa dengan dana Rp 204 miliar tahun 2006-2007. Tanpa terasa, intensitas dan kreativitas yang tinggi dalam menghadapi masa sulit di Aceh akan sangat bermanfaat apabila dibagikan kepada mereka yang sedang membutuhkannya di wilayah lain. Mungkin saatnya digagas "knowledge and lesson transfer from Aceh to Southeast Asia". Semoga. [email penulis: mdaud@worldbank.org]

Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke redaksi@serambinews.com


Anda sedang membaca artikel tentang

Menyebar Pengalaman Damai ke Thailand Selatan

Dengan url

http://acehnewinfo.blogspot.com/2014/10/menyebar-pengalaman-damai-ke-thailand.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Menyebar Pengalaman Damai ke Thailand Selatan

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Menyebar Pengalaman Damai ke Thailand Selatan

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger