A. Wahab Abdi
Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala
Darussalam, Banda Aceh
SECARA terminologis, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, berhubungan seks, dan dari segala perbuatan yang membatalkannya, mulai dari imsak sampai magrib. Sedangkan secara etimologis esensi puasa tidak sebatas itu, melainkan juga mencakup pengendalian diri dari segala hawa nafsu yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kehinaan.
Pengendalian diri yang dimaksudkan di sini adalah harus dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat. Puasa yang sesuai dengan tuntunan syariat butuh pengorban, perjuangan, dan latihan yang berat. Karena itu bulan Ramadhan juga sering dinamakan syarul jihad dan syahrul tarbiyah. Dikatakan syahrul jihad karena puasa adalah melawan nafsu ammarah dan nafsu lauwamah. Sedangkan disebut syahrul tarbiyah karena puasa dapat memperkokoh nafsu muthmainnah.
Bila pengendalian diri berdasarkan syariat ini dapat dipraktikkan dengan baik, maka umat Islam yang berpuasa akan memperoleh derajat la'allakum tattaqun. Derajat takwa bersifat aktif dan fungsional. Artinya, seseorang yang sudah termasuk ke dalam golongan muttaqin, maka derajat ketakwaannya harus dinamis. Pada saat bersamaan ketakwaan itu berfungsi sebagai pengontrol sikap dan perilaku, baik dalam dimensi hablum minallah, maupun hablum minannas.
Sistemik dan holistik
Berpijak pada paparan di atas, maka untuk memelihara nilai puasa di luar Ramadhan haruslah melalui upaya bersahaja, sistemik, dan holistik dari awal hingga akhir. Sebab, puasa merupakan proses, sehingga tak mungkin ada proses yang baik jika tidak ada persiapan yang matang, dan tidak mungkin ada produk (output dan outcome) yang baik tanpa disertai proses yang berkualitas.
Pada tahap persiapan, kedatangan Ramadhan hendaklah disikapi sebagai rahmat sehingga harus disyukuri, merasa senang dan gembira. Para ulama sepakat bahwa orang yang menyambut kedatangan Ramadhan dengan rasa senang dan gembira, maka orang tersebut akan mendapat pahala.
Pada tahap pelaksanaan, maka orang yang menunaikan puasa akan melalui proses penempaan diri dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam puasa. Puasa diawali dengan berniat, sahur sebelum imsak, menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan puasa, dan berbuka saat matahari terbenam dengan membaca doa. Pada tahapan ini orang yang berpuasa mengalami auto-edukasi untuk membentuk karakter ilahiah.
Menjelang akhir Ramadhan, kaum muslimin diwajibkan membayar zakat fitrah yang bertujuan untuk menyucikan jiwa. Puasa yang dilandasi imaa-nan dan wa-ihtisaban akan menghapuskan dosa-dosa masa lalu, sedangkan zakat fitrah akan menyucikan jiwa. Karena itu, seseorang yang berpuasa secara benar dan disertai dengan membayar zakat sebelum shalat Id, maka orang tersebut bagaikan anak yang baru dilahirkan. Berbekal esensi fitriah seperti inilah pribadi-pribadi tersebut akan menjalani kehidupan berikutnya secara lebih baik dibandingkan dengan sebelum Ramadhan.
Pertanyaannya adalah apakah semua orang yang berpuasa akan seperti itu? Tentu saja tidak! Karena saat memasuki Idul Fitri, umat Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan. Pertama, golongan yang tetap berada di jalan kebaikan dan taat sebagaimana selama Ramadhan. Kedua, golongan yang hanya rajin beribadah selama Ramadhan saja, sementara setelah Ramadhan kembali ke status quo. Ketiga, golongan yang datang dan perginya Ramadhan tidak bermakna sama sekali.
Dari ketiga golongan tersebut, tentu saja kita berdoa agar Allah Swt memasukkan kita ke dalam golongan pertama. Ini berarti, jika kita sudah masuk ke dalam golongan pertama, selanjutnya adalah memelihara nilai dan spirit puasa tersebut sampai datangnya Ramadhan berikutnya.
Spirit puasa
Paling tidak ada empat prinsip yang dapat diterapkan untuk memelihara nilai dan spirit puasa di luar Ramadhan. Pertama, prinsip fastabiqul khairat, yaitu berlomba-lomba merebut setiap peluang untuk berbuat kebaikan dan beramal saleh seperti dalam bulan puasa. Sekecil apa pun peluang yang ada untuk berbuat kebaikan dan beramal saleh hendaknya dimanfaatkan secara maksimal.
Kedua, prinsip mujahadah, yaitu adanya kesungguhan termasuk harus rela berkorban untuk melaksanakan amal saleh secara maksimal. Jika selama ini belum terbiasa shalat berjamaah, maka setelah Ramadhan diusahakan secara sungguh-sungguh agar dapat berjamaah.
Ketiga, prinsip istimrariyah, yaitu pelaksanaan amalan saleh secara berkesinambungan. Semua ibadah, amal saleh, dan kebaikan yang rutin dilaksanakan selama Ramadhan perlu dilanjutkan. Ibadah dan amal saleh esensialistik yang mulai ditunaikan selama puasa harus dilanjutnya setelah Ramadhan berlalu.
Keempat, prinsip tawazun, yaitu keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan jasmani, akal, dan ruh. Jasmani butuh makanan, akal butuh ilmu, dan ruh butuh ibadah. Melaksanakan ibadah dan amal saleh harus seimbang terhadap tiga potensi tersebut.
Di luar itu semua adalah adanya niat untuk tetap konsisten sebagaimana telah dilakukan selama Ramadhan. Jika komitmen untuk memelihara nilai puasa setelah Ramadhan sudah terpatri di dalam sanubari kita, maka benih-benih istiqamah tentu akan tersemaikan di dalam kalbu. Wallahu a'lam bissawab. (email: wahababdi.fkip@gmail.com)
Anda sedang membaca artikel tentang
Memelihara Nilai Puasa di Luar Ramadhan
Dengan url
http://acehnewinfo.blogspot.com/2014/07/memelihara-nilai-puasa-di-luar-ramadhan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Memelihara Nilai Puasa di Luar Ramadhan
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Memelihara Nilai Puasa di Luar Ramadhan
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar