BANDA ACEH - Pakar hukum perdata dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Mawardi Ismail SH MHum berpendapat, penerapan sanksi adat yang diputuskan oleh keuchik selaku "hakim ketua" bersama tuha peuet dan imuem meunasah dalam sistem peradilan adat di Aceh saat ini haruslah mengedepankan konsensus dan tidak menimbulkan multitafsir di kalangan para pihak.
"Selain itu, jangan pula melampaui batas," kata Mawardi kepada Serambi, Senin (16/6), saat dimintai pendapatnya menanggapi liputan eksklusif koran ini berjudul Hukum Adat Masih Terhambat yang dipublikasi Serambi kemarin.
Pengaturan tentang peradilan adat ini, kata Mawardi, sebetulnya sudah lama ditetapkan Pemerintah Aceh dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Di dalam qanun itu dimuat beberapa persoalan pidana ringan dan perdata yang sebelumnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum (polisi dan jaksa), tetapi sekarang menjadi kewenangan peradilan adat.
Kebijakan ini, katanya lebih lanjut, telah disahkan hampir enam tahun lalu. Namun, dari hasil temuan di lapangan masih banyak aparatur gampong atau mukim yang belum mengetahui tentang isi qanun ini. "Tapi saya kira sudah banyak yang memulai, namun bervariasi," ujarnya.
Mawardi menyebutkan, diperlukan satu aturan yang jelas untuk menerapkan peradilan adat di tengah masyarakat Aceh. Hal ini dipandang penting, karena bisa memungkinkan munculnya panafsiran yang berbeda-beda di kalangan pelaksana di lapangan. "SOP (standard operating procedure)-nya harus digodok dengan benar agar dalam pelaksanaannya jangan sampai multitafsir sehingga bisa memunculkan masalah baru," ungkapnya.
Menurut Mawardi, peradilan adat di Aceh sudah sejak dulu berlangsung turun-temurun dan merupakan kearifan lokal masyarakat Aceh.
Ia menilai, peradilan adat dapat memberi sisi positif dalam hal penegakan hukum di tengah masyarakat untuk kategori kasus-kasus pidana ringan. Selain efisien, murah, dan hemat waktu, peradilan adat dipandang juga membuka ruang bagi penyelesaian perkara secara lebih bermartabat. Namun, kata dia, perlu ada penegasan yang jelas tentang kasus-kasus seperti apa saja yang dapat dikategorikan masuk dalam lingkup peradilan adat. "Kewenangan para pelaksana di lapangan juga harus jelas. Maka diperlukan satu konsensus antara para pihak yang menerapkannya," tegas akademisi yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Aceh dari Golkar ini.
Berdasarkan catatan Serambi, di Aceh Singkil pada 21 Februari 2013 pernah diputuskan sebuah perkara melalui peradilan adat. Alkisah, Bt (23) dan seorang duda berinisial Sp (45), harus rela menjadi tontonan warga sebuah desa di Kecamatan Singkil Utara, Aceh Singkil, karena keduanya dijatuhi hukuman adat dengan cara diarak keliling kampung karena kedapatan bermesum.
Bt ditangkap suaminya dan warga saat berduaan di sebuah kebun sawit sekira pukul 21.30 WIB. Proses arak-arakan berjalan tertib, meski sumpah serapah tak terelakkan dialamatkan kepada mereka. Sejumlah pemuda ikut mengamankan prosesi 'kirab' ala warga itu.
Kasus yang menimpa Bt dan Sp merupakan potret peradilan adat yang berlaku di Aceh, setidaknya di Aceh Singkil. Sanksi mengarak pelaku itu dijatuhkan para pemangku adat setelah menggelar musyawarah di rumah imuem mukim setempat yang melibatkan sejumlah perangkat gampong lainnya.
Pengadilan adat memang sejak lama telah berlaku di Aceh. Kasus Bt dan Sp merupakan salah satu bentuk dari keputusan pengadilan adat yang hingga kini masih kerap berlangsung di Aceh. Ada banyak kasus lain yang pelakunya diadili menggunakan mekanisme peradilan adat dengan bentuk sanksi yang bermacam-macam.
Beberapa jenis sanksi yang umum dijatuhkan sebagai keputusan adat, antara lain, nasihat, teguran, permintaan maaf, diat, denda, ganti rugi, dikucilkan, dikeluarkan dari gampong, pencabutan gelar adat dan top meunalee (menutup malu) dengan membayar denda. Namun, dalam banyak literatur sanksi mengarak pelaku seperti kasus yang menimpa Bt (23) dan Sp (45) di Singkil itu, jarang ditemukan. (sar)
Anda sedang membaca artikel tentang
Peradilan Adat jangan Sampai Melampaui Batas
Dengan url
http://acehnewinfo.blogspot.com/2014/06/peradilan-adat-jangan-sampai-melampaui.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Peradilan Adat jangan Sampai Melampaui Batas
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Peradilan Adat jangan Sampai Melampaui Batas
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar