Kisah ‘Napoleon’ Menentang Wali Negara

Written By Unknown on Minggu, 12 Januari 2014 | 16.24

NAPOLEON dari Tanah Rencong, memberi lukisan hidup tentang sosok Hasan Saleh, salah seorang figur sentral dalam peristiwa pergolakan DI/TII Aceh.

Dituturkan dalam bentuk karya novel, membuat kisah 'Sang Napoleon' jauh dari kesan menggurui atau ingin mendominiasi peristiwa sejarah. Novel ini memang bukan novel sejarah, melainkan novel dengan latar sejarah yang mengalir cair pada tiap halaman dan bab.

Novel ini ditulis Akmal Nasery Basral, yang pernah bekerja sebagai wartawan sejumlah majalah berita terkemuka di Indonesia. Tangan dingin Akmal telah melahirkan sederet novel seperti; Naga Bonar Jadi 2 (2007), Sang Pencerah (2010), Batas (2011), Presiden Prawiranegara (2011), Anak Sejuta Bintang (2012).

'Napoleon dari Tanah Rencong' diterbitkan PT Gramedia Jakarta, 2013, merupakan hasil riset mendalam tentang kehidupan Hasan Saleh dan sepak terjangnya dalam panggung sejarah Aceh. Akmal menghabiskan waktu tiga tahun untuk kerja riset tersebut. Istilah 'Napoleon', menurut catatan Iqbal Hasan, putra Hasan Saleh, bersumber dari Hasan Saleh sendiri yang membandingkannya dengan Napoleon Bonaparte di Prancis. "Iqbal, lihat peta Prancis itu. Kan tidak besar-besar sekali juga Prancis itu? Kalau di sana ada Napoleon sebagai panglima perang yang jago, lalu apa bedanya dengan bapak di Aceh," kenang Iqbal tentang percakapan dirinya dengan sang ayah. Alasan itulah yang kemudian dipilih jadi judul novel dengan gambar sampul depan sebilah rencong milik Hasan Saleh.

Dibuka dengan peristiwa masa kecil 'Sang Napoleon' di Desa Pulo Kameng, Metareum, Pidie, kita—pembaca—mula-mula diperkenalkan dengan tingkah bocah 'Napoleon' dalam keluarga single parent Cut Manyak. Tingkah Hasan Saleh kecil dilukiskan begitu hidup dan interaksinya dengan ketiga saudaranya yang lain memperlihatkan keluarga itu rukun-harmonis, walau pun mereka empat bersaudara dari tiga ayah yang berbeda. Paling sulung Ismail Syekh, berasal dari ayah Muhammad Syeh, yang kemudian meninggal dunia. Cut Manyak menikah dengan Muhammad Saleh, yaitu abang dari Muhammad Syekh. Dari perkawinan dengan Muhammad Saleh, lahir Ibrahim Saleh dan Hasan Saleh.  

Tapi pernikahan kandas di tengah jalan. Perjalanan waktu mempertemukan dengan Tgk Muhammad Aly, yang kelak menjadi suami ketiganya. Perkawinan itu melahirkan seorang anak laki-laki bernama Yacob Aly, yang berbeda umur 5 tahun dengan Hasan Saleh.

'Napoleon' tumbuh sebagai anak cerdas, lincah, dan panjang akal pada situasi sulit. Hasan Saleh menjalani masa kecil di zaman Belanda, dilajutkan zaman Jepang dan zaman Kemerdekaan ketika memasuki usia  dewasa. Ia juga menjalani konflik sosial peristiwa Cumbok.

Hasan Saleh sejak kecil mengikuti pendidikan agama dan menguasai bahasa Arab sangat baik. Sedangkan bahasa latin, sama sekali tidak ia kuasai, bahkan menulis nama sendiripun sulitnya minta ampun.

Belakangan, Hasan Saleh lebih dikenal sebagai sosok militer. Itu diawali dari pendidikan militer di sekolah militer Jepang di Lhokseumawe, Kembu Yoin. Di sana pula ia berkenalan dengan Teuku Syamun Gaharu, Teuku Abdullah Titeu, Teuku Abdurrahman Keumangan, dan lain-lain.

Karir militer Hasan Saleh terbilang cemerlang. Ketika berpangkat Kapten  TNI, Hasan Saleh yang memimpin batalion "Seulawah Jantan" ditugaskan memadamkan pemberontaakan Kahar Muzakar di Sulawesi dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Seluruh misi itu berhasil dijalankannya dengan hasil sangat baik. Ketika berhadapan dengan Kahar Muzakar, Hasan Saleh bahkan tidak perlu memuntahkan satu pelurupun di medan perang, karena langsung dicapai kesepakatan damai dan pasukan Kahar Muzakar turun gunung.

Pada bagian lain, novel ini juga memperlihatkan keteguhan hati Hasan Saleh terhadap prinsip, meski harus berhadapan dengan atasannya. Ia pernah menolak perintah KASAD Kolonel A Haris Nasution untuk mengembalikan senjata ketika pasukan Batalion 110 Seulawah Jantan yang dipimpinnya bertugas di Sulawesi.

Keteguhan sikap itu juga tercermin pada perundingan 'Misi Hardi', di mana Hasan Saleh sama sekali tidak beranjak dari sikapnya untuk meminta keistimewaan Aceh.

Ia juga berkali-kali bersitegang dengan Wali Negara Daud Beureueh, pemimpin tertinggi DI/TII. Puncak ketegangan terjadi saat Hasan Saleh selaku Penguasa Perang memutuskan mengambil alih seluruh kekuasaan sipil dan militer dari tangan Wali Negara Abu Daud Beureueh. Drama pertentangan tersebut diceritakan dalam Bab 24; 'Kembali ke Pangkuan Republik.'

Peristiwa tersebut terjadi pada 15 Maret 1959. Hasan Saleh tak punya pilihan lain  setelah pertentangan dengan Wali Negara Daud Beureuh pada Rapat Cubo yang memecat Hasan Saleh dan Ayah Gani selaku Wakil Perdana Menteri DI dengan tidak hormat karena dianggap mengkhianati perjuangan.  

Alasan pemecatan Hasan Saleh dan Ayah Gani, karena Wali Negara Daud Beureueh mengetahui kedua tokoh tersebut bertemu dan berunding dengan Jenderal AH Nasution di Kutaradja. Dalam pertemuan itu Jenderal Nasution melobi Hasan Saleh agar memilih jalan damai, bukan jalan perang seperti yang dipidatokan Wali Negara Daud Beureueh dalam satu kesempatan di Lhokseumawe. Ketika itu Wali Negara bersikukuh ingin tetap melanjutkan perang. "Saya tahu Teungku Daud Beureueh tak mau berdamai. Dia bilang akan bergerak 1 Januari 1959, sepuluh hari lagi. Itu sebabnya saya memilih berbicara dengan saudara lebih dulu, sebagai Menteri Urusan Perang. Jika ingin berdamai saya tidak akan berbuat apa-apa. Tapi kalau mau berperang, kami akan lebih dulu bergerak," kata Jenderal Nasution.

Dialog 'negosiasi' dilukiskan berlangsung alot hingga sampai kepada kuputusan bahwa Hasan Saleh menjamin keamanan Aceh dan akan menggagalkan usaha untuk berperang kembali seperti yang sebelumnya diumumkan Wali Negara Daud Beureueh. Hasan Saleh menyampaikan tuntutan diberikannya peningkatan status Aceh sebagai 'negara bagian.'

Hasil pertemuan dengan Jenderal Nasution disampaikan Hasan Saleh kepada Ketua Majelis Syura Amir Husin Al Mujahid, dan menyatakan sependapat dengan Hasan Saleh untuk menyudahi perang. "Sekarang setelah jalan ke luar dari masalah ini ditemukan, kita wajib menentang kemauan Wali Negara karena kepentingan rakyat jauh lebih penting dibanding kepentingan seseorang," kata Amir Husin.

Wali Negara Daud Beureueh merespons pertemuan Hasan Saleh dengan Amir Husin Al Mujahid dengan menggelar pertemuan di Cubo dengan mengundang seluruh komandan resimen dan pemuka masyarakat sipil, termasuk menteri dalam negeri dan menteri kehakiman. Amir Husein tak diundang, tapi berinisiatif datang sendiri ke rapat tersebut. Peserta rapat menjadi terbelah dua, mendukung Wali Negara dan menolaknya. Belakangan suara mayoritas mendukung Wali Negara untuk memecat Hasan Saleh dan Ayah Gani dari jabatannya dengan tidak hormat. Ketika peristiwa itu berlangsung, Perdana Menteri DI, Hasan Aly sedang berada di Amerika. Tiba di Aceh, Hasan Aly mencoba melobi Wali Negara untuk membatalkan keputusannya.

Sampai 14 Maret 1959, tenggat waktu yang diberikan, tak ada jawaban dari perdana menteri. Esoknya, 15 Maret 1959, mengumumkan pengambilalihan seluruh kekuasaan dari Wali Negara Daud Beureueh olehnya selaku Penguasa Perang NBA-NII. "Kemudian kekuasaan saya limpahkan kembali kepada Dewan Revolusi dengan tugas pokok untuk menyelesaikan pemberontakan di Aceh," ujar Hasan Aly ketika di Metareum.

Dewan Revolusi diketuai Ayah Gani, Wakil Ketua dan Panglima Militer Hasan Saleh, Sekjend A Gani Mutiara, Penasihat Militer Husin Yusuf, Penasihat Sipil T Amin, Penata Keuangan TA Hasan dan Penghubung Dewan Revolusi dengan Pemerintah RI Ishak Amin.

Sidang pertama Dewan revolusi dilakukan dengan mengangkat Teungku Amir Husin Al Mujahid sebagai Wali Negara yang baru (halaman: 486).

 Peristiwa lucu
Selain menyimpan unsur-unsur ketegangan, novel ini juga memuat berbagai peristiwa lucu. Hasan Saleh dengan gampang menjuluki pelatih militer Jepang yang kejam sebagai 'Si Parot' karena kejengkelannya terhadap perilaku kejam si Jepang yang menjadi pelatih di sekolah militer.

Peristiwa lucu lainnya adalah ketika Hasan Saleh berada di Malaysia. Secara kebetulan ia bertemu dengan sejumlah prajurit TNI yang transit dan prajurit itu berbincang mengenai 'sosok' Hasan Saleh yang misterius, bergerilya di hutan Aceh. Dengan fasih, prajurit tersebut menyebut Hasan Saleh sebagai orang yang ditakuti dan kepalanya dihargai jutaan rupiah.

Prajurit tersebut baru saja kembali dari dinas di Aceh menumpas pemberontakan DI/TII. Sama sekali tidak diketahui bahwa orang yang sedang dibincangkan itu ada di hadapan mereka.

Hasan Saleh juga sosok romantis. Ini diperlihatkan bagaimana dia 'jatuh hati' kepada Cut Asiah, muridnya yang cantik, dan kelak menjadi pendamping hidupnya. Ia benar-benar takluk kepada gadis itu.

Novel ini, menurut saya, telah memperkaya pengetahuan mengenai berbagai peristiwa bersejarah di Aceh. Gaya penulisan seperti ini merupakan pilihan yang tepat, imajinasi pembaca dengan mudah terbenam dalam setiap peristiwa yang ditampilkan. Pembaca bisa merasakan efek-efek dramatik dari setiap kejadian.

Ke depan, kita tentu mengharapkan lahirnya novel-novel lain tentang Aceh. Ibarat buku, Aceh tidak akan habis dibaca dalam satu malam. Aceh harus terus dibaca sepanjang masa dengan beragam peristiwa dan aktor-aktornya. Inilah, salah satu bentuk kekayaan lain dari negeri yang bernama Aceh.(fikar w.eda)


Anda sedang membaca artikel tentang

Kisah ‘Napoleon’ Menentang Wali Negara

Dengan url

http://acehnewinfo.blogspot.com/2014/01/kisah-anapoleona-menentang-wali-negara.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Kisah ‘Napoleon’ Menentang Wali Negara

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Kisah ‘Napoleon’ Menentang Wali Negara

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger