BANDA ACEH - Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengkritik kegiatan sosialisasi Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe yang sedang dilaksanakan oleh Majelis Adat Aceh (MAA). YARA menilai MAA salah kaprah karena memasarkan produk hukum yang masih kontroversial.
"Padahal jelas-jelas qanun ini belum mendapat pengakuan, bahkan mendapat protes di berbagai daerah di Aceh," kata Direktur YARA, Safaruddin SH, dalam rilis yang diterima Serambi Selasa (19/11).
Menurut Safaruddin, seharusnya MAA menyosialisasikan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat-Istiadat, dan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, serta Pergub Nomor 50 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Pidana Melalui Lembaga Adat.
"Ada 18 perkara pidana dan perdata yang menjadi tugas utama MAA untuk diselesaikan antaranya kasus-kasus KDRT, sengketa harta warisan, khalwat (mesum), pencurian ringan, pelecehan, pencemaran nama baik, pembakaran hutan, persengketaan di pasar, dan lainnya. Seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh MAA, tidak langsung dilimpahkan ke aparat kepolisian," katanya.
Safaruddin yang juga menjabat Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Aceh menambahkan, peran MAA dalam membumikan produk hukum yang menjadi bagiannya terkesan nihil. Menurut Safaruddin, seharusnya MAA mendahulukan pekerjaannya, bukan malah ikut campur pada produk yang ditentang oleh Jakarta.
Ia juga meminta agar Ketua MAA, Badruzzaman Ismail yang baru terpilih untuk periode kedua kalinya menyelesaikan persoalan pidana dan perdata secara adat, sebagaimana kewenangan yang telah diberikan.
MAA juga harus berperan menjembatani Pemerintah Aceh dengan Mahkamah Agung agar jajaran MA di Aceh mengakui penerapan qanun adat Aceh. Sehingga qanun tersebut bermarwah dan mengikat dalam pelaksanaan hukum dan pelaksanaan adat istiadat di Aceh.
"Mahkamah Agung harus memerintahkan Pengadilan Negeri untuk terlebih dahulu melihat sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan apakah sudah diselesaikan secara adat atau belum. Kalau belum diselesaikan secara adat, maka pengadilan harus memerintahkan penyelesaian secara adat terlebih dahulu. Jika buntu, baru diselesaikan di pengadilan," kata Safaruddin.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H Badruzzaman Ismail SH MHum yang dikonfirmasi Serambi mengatakan ini merupakan program pemerintah daerah yang dijalankan pihaknya. Menurutnya tiap orang juga memiliki hak masing-masing untuk berpendapat. "Semakin banyak pendapat maka semakin bagus," ujarnya.
Ia berharap apa yang dijalankan saat ini dapat terarah dengan baik dan meningkatkan kesejahteraan, sehingga apa yang ada dapat diambil hikmahnya.(hs)
Anda sedang membaca artikel tentang
YARA Kritik Sosialisasi Qanun WN Oleh MAA
Dengan url
http://acehnewinfo.blogspot.com/2013/11/yara-kritik-sosialisasi-qanun-wn-oleh.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
YARA Kritik Sosialisasi Qanun WN Oleh MAA
namun jangan lupa untuk meletakkan link
YARA Kritik Sosialisasi Qanun WN Oleh MAA
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar