Pengajaran Bahasa Daerah

Written By Unknown on Senin, 08 April 2013 | 16.24

Peneliti Bahasa Balai Bahasa Banda Aceh

Pemberlakukan kurikulum 2013 pada satuan pendidikan di tingkat dasar beberapa saat yang lalu sempat menimbulkan kekawatiran sejumlah pihak di beberapa daerah. Hal tersebut berkaitan dengan rencana "perampingan" mata pelajaran sehingga secara kuantitatif, pelajaran-pelajaran tertentu akan hilang dan digabungkan dengan pelajaran lain menjadi satu mata pelajaran tertentu.

Salah satu kekawatiran yang terjadi yaitu berkaitan dengan persoalan pelajaran bahasa daerah. Seperti kita ketahui bahwa bahasa daerah di sekolah dasar selama ini diajarkan sebagai salah satu muatan lokal. Muatan lokal di setiap daerah hampir dapat dipastikan mengangkat bahasa daerahnya sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah walaupun sebenarnya muatan lokal boleh materi di luar soal bahasa daerah, misalnya budaya atau olahraga/seni.

Kekawatiran beberapa pihak akan hal tersebut cukup beralasan. Secara umum, kondisi atau kehidupan bahasa daerah di Indonesia dapat dikatakan dalam keadaan yang cukup memprihatinkan.

Salah satu strategi revitalisasi bahasa daerah yaitu melalui jalur pendidikan, terutama pendidikan tingkat dasar. Anggapan inilah yang selanjutnya secara beramai-ramai hampir di setiap pemerintah daerah memasukkan bahasa derah yang ada di dalam wilayahnya sebagai mata pelajaran muatan lokal. Jalur pendidikan dasar diharapkan dapat menjadi sarana untuk transfer ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat lokal yang terkandung melalui bahasa daerahnya.
  
Di satu sisi pengajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal di sekolah memiliki beberapa kendala, seperti persoalan sumber daya manusia guru. Sangat sedikit perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa daerah. Bahkan, perguruan tinggi (negeri) pun yang notabene memiliki jurusan bahasa daerah setiap tahunnya mengalami penurunan mahasiswa alias jurusan bahasa daerah kurang diminati oleh para lulusan SLTA. Antara output dan kebutuhan guru bahasa daerah yang tidak seimbang ini mengakibatkan banyaknya guru bahasa daerah yang latar belakang pendidikannya bukan lulusan dari jurusan bahasa daerah yang ia ajarkan. Beberapa tahun terakhir ini bahkan tersiar berita beberapa universitas di Indonesia menutup jurusan bahasa Indonesia.
  
Menyikapi kondisi demikian, perlukah dibuka jurusan bahasa daerah di Aceh untuk memenuhi kebutuhan guru pengajar bahasa daerah sebagai  muatan lokal?. Tentu saja hal ini akan menimbulkan pendapat antara yang pro dan yang kontra. Ada kegamangan di beberapa pengambil kebijakan soal ini.

Pertama, tuntutan global mengakibatkan mereka tidak lagi memandang penting bahasa daerah. Kedua, kontribusi yang minim terutama dari sisi ekonomi khususnya persoalan bahasa daerah. Sebagian bahkan berasumsi bahwa ranah bahasa daerah biarlah saja hanya terbatas di lokalitas bahasa itu hidup. Hal ini yang seringkali membuat  dilematika saat kita harus berbincang tentang bahasa daerah termasuk pembelajaran di dalamnya.
  
Bukan berupaya membuat simplikasi persoalan, tetapi ada beberapa cara pandang yang mungkin akan menjadi jalan tengah tentang bahasa daerah. Pada dasarnya yang namanya globalisasi tidak dapat dihindari oleh siapa pun dan pada aspek apa pun. Hampir-hampir efek globalisasi menyentuh setiap sisi kehidupan manusia, termasuk tentu saja eksistensi bahasa. Alangkah baiknya apabila kita berasumsi bahasa sebagai sebuah komoditas bernilai ekonomi. Caranya? Mengemas bahasa tersebut menjadi bahasa yang diperlukan, lalu "menjual"-nya dalam kemasan yang menarik.

Analogi sederhana terjadi pada bahasa Indonesia. Saat ini ada sekitar 169 pusat kajian Indonesia yang tersebar di universitas-universitas luar negeri. Beberapa universitas di Australia, Kanada, dan Belarusia bahkan baru-baru ini menginginkan adanya pengajar bahasa Indonesia yang khusus didatangkan dari Indonesia dengan syarat yang dikirim harus dapat berbahasa Inggris. Ini peluang sekaligus tantangan. Oleh karena itu, pada konteks bahasa daerah yang utama adalah menjadikan bahasa daerah itu penting bukan saja untuk penuturnya,  tetapi penting untuk pihak lain. Apakah untuk kajian akademis ataupun untuk tujuan yang lain sebatas tidak melanggar aturan yang ada.

Rubrik ini kerja sama Balai Bahasa Banda Aceh dengan Harian Serambi Indonesia (*)
Kami menerima tulisan dengan ketentuan: Topik kebahasaan/kesastraan, asli (bukan plagiasi), belum pernah dipublikasikan, berjumlah 600 kata. Kirimkan artikel disertai identitas Anda ke alamat balaibahasaaceh@kemdikbud.go.id


Anda sedang membaca artikel tentang

Pengajaran Bahasa Daerah

Dengan url

http://acehnewinfo.blogspot.com/2013/04/pengajaran-bahasa-daerah.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Pengajaran Bahasa Daerah

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Pengajaran Bahasa Daerah

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger